. Semoga Bukan Negara Yang Bukan-Bukan | Al-Qolamu

Al-Qolamu

Inspirasi Pencerah

Home » » Semoga Bukan Negara Yang Bukan-Bukan

Semoga Bukan Negara Yang Bukan-Bukan

siapa yang bisa menjamin nantinya tidak akan ada orang yang berpura-pura atau memang tidak punya agama (atheis) bisa memiliki KTP dan dengan leluasa dapat hidup di negeri ini? disisi lain, dalam agama Islam, kebijakan tersebut sangat mungkin membuka gerbang 'murtad'. Dan membiarkan kaum atheis, aliran sesat dan murtad hidup bebas di negeri ini jelas merupakan upaya penghapusan sila pertama PANCASILA yang sejak Jakarta Charter memang telah digembosi.

"rakyat Indonesia bukanlah penganut sekuler dan juga bukan negara agama, melainkan agama menjadi bagian dari tata kenegaraan" demikian ditegaskan oleh Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo soal bolehnya pengosongan kolom agama di e-KTP (okezone.com)

Pernyataan bahwa Indonesia BUKAN negara agama dan BUKAN pula agama sekuler selalu menjadi alasan banyak petinggi negeri ini ketika kebijakan yang mereka telurkan 'nyaris menyerempet' kepentingan asasi warga negara perihal agama.

Pernyataan tersebut biasanya selalu dilanjutkan dengan kata-kata "itu kan urusan pribadi-pribadi sama Tuhan" seperti yang diungkap oleh Ruhut Sitompul sebagaimana dilansir oleh liputan6.com :

"menurut juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul pengosongan kolom agama bisa dibilang boleh atau tidak. Karena menurut dia, terkait kepercayaan itu urusannya antara manusia dengan Tuhan. "Mungkin akan dibawa Tjahjo ke komisi II. Tapi menurut saya, soal pengosongan kolom agama itu boleh iya, boleh ngga. Itu karena urusan kita sama Tuhan," kata Ruhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, 7 November 2014.

kalau semua petinggi negara telah berlindung dibalik kata "agama adalah urusan PRIBADI dengan tuhan" apa bedanya negara PANCASILA ini dengan SEKULER? bukankah slogan "Serahkan urusan negara kepada Raja dan urusan Agama kepada Tuhan" juga bermakna demikian? Berlindung di balik pernyataan ini memang menentramkan mereka,namun jelas berbahaya bagi PANCASILA.

Mendagri mengemukakan pernyataan bolehnya pengosongan kolom agama dalam e-KTP itu sebagai alternatif bagi sebagian warga negara yang menganut keyakinan atau kepercayaan tertentu yang menurut mereka di luar ketentuan enam tersebut. Dikatakan Tjahjo, bagi penganut keyakinan tidak bisa mencantumkan agama dalam kolom agama. Oleh karenanya, banyak di antara mereka yang ditolak dapat e-KTP sebab yang bersangkutan tidak mau menulis kolom agama yang beda dengan keyakinannya.

Tjahjo menegaskan, pihaknya berkeinginan mengayomi semua warga negara Indonesia yang majemuk sehingga memberi kebebasan kepada mereka untuk mengisi atau mengosongkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk.

"Keinginan saya pribadi agar kolom agama yang di luar enam agama resmi bisa dikosongkan," kata Tjahjo. Lebih jauh, Tjahjo pun mengemukakan ada sekitar 1 juta penduduk yang berkeyakinan di luar enam agama tersebut terpaksa berstatus "agama KTP" hanya demi mendapatkan tanda identitas penduduk. Ini yang menjadi alasan dirinya mengemukakan gagasan untuk memperbolehkan setiap warga negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama di dalam KTP.

"Selama ini terpaksa ditulis memeluk agama atau ada kebijakan pengecualian. Makanya ada istilah agama KTP. Padahal agama kan harus diyakini. Dari laporan ada di atas 1 juta, yang berkeyakinan lain, seperti pencinta wayangan, pencinta ruwatan, Islam kejawen dan lain-lain," ujar Tjahjo.

Dari luar, keinginan mendagri ini sepertinya memang baik, yakni mengakomodir kebutuhan 1 juta penduduk yang agamanya tidak (belum) diakui oleh negara, termasuk Ahmadiyah, Yahudi, Syi'ah dll. Namun beliau entah lupa atau disengaja, bahwa "mulai" memberikan kelonggaran terhadap 1 juta penduduk tersebut pada akhirnya dapat mengabaikan kepentingan 200 juta lebih penduduk lain yang agamanya telah diakui.

siapa yang bisa menjamin nantinya tidak akan ada orang yang berpura-pura atau memang tidak punya agama (atheis) bisa memiliki KTP dan dengan leluasa dapat hidup di negeri ini? disisi lain, dalam agama Islam, kebijakan tersebut sangat mungkin membuka gerbang 'murtad'. Dan membiarkan kaum atheis, aliran sesat dan murtad hidup bebas di negeri ini jelas merupakan upaya penghapusan sila pertama PANCASILA yang sejak Jakarta Charter memang telah digembosi.

Mengayomi kebutuhan seluruh warga negara bukanlah "kebaikan hati" seorang menteri ataupun presiden, melainkan "tuntutan Jabatan" yang include sejak ia menyatakan sumpah jabatannya. Meski demikian, keinginan bebuat "baik" itu tentunya tidak boleh mengusik kepentingan bangsa yang lebih besar, bangsa yang tetap ingin bertuhan.

So, dalam jabatan yang baru saja diemban, sebenarnya masih sangat banyak tugas yang harus segera dituntaskan selain harus membuat polemik ditengah masyarakat. Soal e-KTP saja, masih jutaan warga negara beragama yang mempertanyakan dimana KTP mereka, kenapa harus mengurus yang lain?

Saya khawatir kalau nanti ada yang beranggapan bahwa kebijakan ini merupakan tindakan yang "bukan-bukan" di saat harapan ditumpukan. Jangan sampai dianggap mengambil kesempatan saat isu BBM digelar sama seperti Israel yang mengambil kesempataan mencaplok Masjidil Aqsha saat ISIS menyedot perhatian dunia.

Akhirnya, bila negara ini BUKAN negara Agama dan BUKAN pula negara sekuler, semoga negaraku Bukan NEGARA YANG BUKAN-BUKAN.

http://alqolamu.blogspot.com/2014/11/semoga-bukan-negara-yang-bukan-bukan.html

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Komentar Anda: