. Pemikiran Filsafat AlFarabi | Al-Qolamu

Al-Qolamu

Inspirasi Pencerah

Home » » Pemikiran Filsafat AlFarabi

Pemikiran Filsafat AlFarabi

Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat kali (dalam riwayat lain disebutkan 40 kali) ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari Metafisika” karya al-Farabi, barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.
A. PENDAHULUAN
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun[1]

Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “the second Master” atau Maha Guru Kedua setelah panutannya Aristoteles.[2]

B. Biografi Singkat Al-Farabi

Berbeda dengan kehidupan beberapa filosof besar islam lain seperti Ibn Sina (370-429 H / 980-1037 M), latar belakang keluarga atau kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Bahkan berkenaan dengan kehidupannya setelah itu, terdapat banyak episode yang hingga saat ini sulit divalidasi.

Meski al-Farabi mempunyai beberapa murid dekat, dia tidak pernah mendiktekan otobiografinya kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana yang dilakukan Ibn Sina kepada murid kesayangannya, al Juzjani. Juga tidak seperti Ibn Khaldun, al-Farabi tidak mau menulis otobiografinya sendiri[3].

Sehingga bahan-bahan yang dipakai sebagai rujukan oleh para biografer al-Farabi selama ini, keabsahan, kebenaran dan keautentikan datanya masih bersifat sementara dan masih mungkin bagi para penulis berikutnya untuk merevisi sehingga dapat ditemukan data yang akurat dan lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.[4]

Salah satu implikasi atas kesimpang-siuran data tersebut terlihat dari beberapa tulisan tentang tahun kelahiran al-Farabi. DR. Ahmad Daudy, dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut kelahiran al-Farabi adalah tahun 259 H/872 M[5], sedangkan Harun Nasution menunjuk angka 870 M[6] dan Osman Bakar menulis tahun 257/890M[7]

Perbedaan lain seputar tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini adalah soal asal-usul kebangsaan/keturunannya. Ada yang menyebutnya berkebangsaan Persia dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal ini disebabkan karena ayahnya (Muhammad ibn Tharkhan) adalah seorang Jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya adalah wanita keturunan Turki.[8]

Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki[9]

Sebutan al-Farabi sebenarnya diambil dari nama kota Farab sebuah distrik (setingkat Kabupaten/kota) provinsi Transoxiana, Turkestan, yakni distrik tempat kelahiran beliau, tepatnya di desa kecil bernama Wasij. Menurut catatan Ibn Khallikan, di wilayah ini pula Abu Nasher menghabiskan masa remajanya[10]

Lingkungan distrik Farab yang mayoritas penduduknya berfaham fiqh Syafi’iyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkin Abu Nashr muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari,[11] terutama dalam bidang bahasa. Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi.[12]

Selain di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di nilah al-Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya.[13] Dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi)[14]

Hanya beberapa saat menjadi hakim, al-farabi melepaskan pekerjaan itu ketika mengetahui ada sesorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera setelah itu dia mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika Aristotelian dan filsafat kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw) Khurasan [15]

Saat berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus[16].


Menurut Osman Bakar, Al-Farabi berangkat ke Baghad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900 M dari kota Merv bersama gurunya ibn Hailan. Jadi, selain berguru kepada yang lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan pada fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan studinya ke Konstatinopel yang erat pertautannya dengan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun hingga menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis[17]

Barulah pada rentang waktu antara 297-307 H / 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghad dan tercatat sebagai siswa Matta ibn Yunus, salah seorang filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta inilah, al-farabi mampu menguraikan gagasan-gagasan abstrak menjadi mudah difahami dan mengungkapnya dengan istilah yang sederhana. Bahkan kemudian, ajaran dan tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi gurunya—Matta ibn Yunus—dalam bidang logika[18]

Pada tahun 330 H / 941 M, Al-Farabi pindah ke Damsyik (Damaskus-Suria) dan berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun[19]

C. Karya-Karya Al-Farabi

Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjermahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.[20]

Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah :
  1. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
  2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
  3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
  4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
  5. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
  6. As Syiasyah (ilmu politik),
  7. Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir)
  8. Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
  9. Isbatu Al Mufaraqat,
  10. Al Ta’liqat[21]

Buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para penulsi lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.[22]

Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat kali (dalam riwayat lain disebutkan 40 kali) ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari Metafisika” karya al-Farabi, barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.[23]

Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-Farabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya filosoft Yunani, seperti al- Burhan (dalil), Ibarah (keterangan), Khitobah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas (analogi) dan Mantiq (logika) yang meupakan ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan terhadap karya Platinus dan ”Maqalah Fin-nafsi” sebagai ulasan terhadap karya Iskandar Al Fraudisiy[24]

D. Pemikiran Filsafat Al-Farabi

Bagi al-farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah)[25]

Dalam tatanan falsafah an-nadhariyah atau filsafat teori (sebuah istilah yang digunakan al-Farabi untuk membedakannya dengan filsafat terapan atau al-falsafah al-amaliyah), al-farabi termasuk orang yang sangat hati-hati soal bocornya pembicaraan filsafat ke tangan orang awam. Ia berharap agar para filosoft menuliskan pendapat-pendapat atau falsafah mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarang orang, dan dengan demikian iman serta keyakinan mereka tidak menjadi kacau[26]

Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah.

Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato, dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus. Oleh karena itu al-Farabi dipandang sebagi filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu al-Falsafah). Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada lahirnya saja, tidak pada hakikat.

Sebenarnya usaha pemaduan ini sudah lama dimulai sebelum al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-ragamnya.[27] Untuk itu Guna memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40 kali.

Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali.

1. Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi

Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan judul yang diberikan Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku karya Aristoteles yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama (Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikkenal dengan ungkapan ma ba’d al-thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas yang tampak.[28]

Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti. Bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan dan bisa pula bemakna upaya untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik realitas. Akan tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.[29]

Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak bertumpu pada soal eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta soal penciptaan alam. Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teorii emanasi menjadi populer.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[30]

Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (ekksistensi) yang oleh al-Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhirpada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
  2. Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan[31]
  3. Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.[32]
Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82.

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
  2. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
  3. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus
  4. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
  5. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
  6. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
  7. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
  8. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
  9. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.[33]

Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.

Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi.[34]

2. Filsafat ke-Nabian

Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”

Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.

Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.

Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak.

Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan

menurutnya Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan.
Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3)

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.[35]

Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.

Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi.

Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.

Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan[36]

3. Filsafat Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.

Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.[37] Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
  1. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[38]

    Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota)[39].
  2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan keadaan spesialisasi mereka.

Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.[40]

Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.[41]

Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.

Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat[42]

Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu.

Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negara yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam:

  1. Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.
  2. Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda.
  3. Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.
  4. Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.
  5. Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[43]


4. Filsafat Pendidikan

Dalam sebuah risalah dibidang politik setelah menjelaskan tentang murid dan kewajiban memerhatikan potensi-potensi yang dimiliki anak-anak dalam proses pendidikan dan pengajaran, menyebutkan:

  1. Diantara mereka ada yang memilki tabiat jelek, dimana anak-anak belajar mempunyai tujuan untuk digunakan pada hal-hal yang tidak baik.Apabila melihat orang seperti itu hendakanya klita membimbing dan mendidiknya dengan pendidikan budi pekerti, dan jangan mengajarkan suatu ilmu kepada seseorang yang apabila memilki sesuatu digunakan pada hal-hal yang tidak baik
  2. Diantara mereka ada yang bodoh yang kecerdasannya dan kepandaiannnya tidak bisa diharapkan lagi. Apabila menjumpai orang seperti ini, proses bimbingan dan pendidikan dilakukan dengan mengggunakan pendekatan kebiasaan-kebiasaan yang baik
  3. Dan diantara mereka ada juga yang memiliki budi pekerti dan karakter yang baik. Aapabila mendapati mereka, jangan kita membina terhadap ilmu yang dimiliki walaupun sedikit meskipun hanya basa-basi.

Al-Farabi berpesan, dalam usaha memperdulikan dan mendidik orang jahat hendaklah dilakukan dengan cara pendidikan ketauladanan, sedangkan pada orang bodoh hendaknya diajarkan hal-hal yang praktis secara disiplin dan terus-menerus. Sementara pada mereka yang mempunyai akhlak yang baik hendaknya diajarakan tentang berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatnya.

Dalam sebuah risalahnya beliau menyebutkan bahwa yang pertama dilakukan dalam pendidikan dan pengajaran adalah dimulai dengan memperbaiki akhlak. Hal ini dikarenakan orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik tidak mungkin belajar ilmu baik. Alasan yang dikemukan al-Farabi ini berdasarkan pendapat filsuf Plato “ Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak dekat dengan orang yang bersih dan suci “.

Menurut al-Farabi, memperbaiki akhlak tidak cukup hanya dengan menggunakan perkataan. Akan tetapi, hal yang lebih penting adalah dengan contoh dan perbuatan. Setelah memperbaiki jiwa syahwatnya, baru perbaikan perkataannya, atau dengan kata lain hal pertama yang harus dilakukan dalam proses pendidikan dan pengajaran adalah memperbaiki akhlak praktis, baru kemudian memperbaiki akhlak atau wawasan-wawasannya. Pendapat al-Farabi ini sangat bernilai tinggi dan cocok dengan pendapat-pendapat para ahli filfasat etika dan pakar pendidikan pada abad ke-20 ini.[44]

E. Beberapa Tinjauan
Secara umum, al-farabi memang telah berhasil merekonsiliasikan banyak hal tentang ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat, sehingga banyak kalangan menilainya sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.

Kendati al-farabi dalam upaya pemaduan pikiran falsafah tersebut telah menunjukkan kesungguhan dan kemahiran yang cukup tinggi, namun usahanya itu tidak menghasilkan apa-apa karena asumsi yang dipakainya dibangun di atas pondasi yang sangat ,lemah, yakni kepercayaan akan kesatuan filsafat[45] Bahkan beberapa upaya tersebut tampak seperti dipaksakan.

Sebagaimana tgelah dibuktikan oleh sejumlah kalangan bahwa al-farabi pernah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Plato dan Aristoteles. Letak kekeliruannya adalah ketika ia menduga bahwa buku Theologia (al-Rububiyyat) merupakan karangan Aristoteteles. Padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus. Artinya, al-farabi dalam hal ini bukan merekonsiliasi Aristoteles dengan Plato, melainkan Plotinus dengan Plato yang secara prinsip memang sejalan.[46]

Bentuk rekonsiliasi yang “seolah dipaksakan” itu juga tampak pada teori emanasi yang dikemukannya melalui sepuluh akal, yang secara struktural jelas dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karena itu, ia membutuhkan sepuluh akal. Setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya al-Farabi hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang[47]

Di sisi lain, konsep al-Farabi yang menyatakan hanya ada satu kebenaran, sehingga baik agama dan filsafat tidak akan bertentangan, seolah-olah telah menempatkan posisi para filosoft menjadi sederajat dengan para nabi, bahkan lebih tinggi lagi Lebih lanjut, A.Hanafi merangkum tiga pokok pikiran yang mengkritik faham tersebut :

pertama, teori al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan.
Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.

Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bisa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian.

Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.[48]

Di atas semua kritikan atas kelemahan-kelemahan tersebut, sebenarnya usaha al-Farabi bukanlah sesuatu yang mengikuti hawa nafsunya. Melainkan sebagai upaya membela Islam dari serangan para filosoft yahudi dan atheis. Beliau sangat mendasarkan hidupnya atas kemurnia jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan sarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Baginya, dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan kepada Allah sebagai penciptanya.[49]

Terkait faham kenabian yang seolah-olah ekstrim tersebut, pelu diketahui bahwa teori sumber kebenaran itu dikemukakan oleh al-farabi adalah untuk menjawab serangan filosoft-filosoft yang menentang agama, seperti Ibn ar-Rawandi dan ar-Razi. Pada prinsipnya, kedua orang ini beranggapan bahwa nabi itu tidak perlu ada dan tidak ada yang berhak dianggap sebagai nabi, karena semua manusia itu sama sehingga tidak boleh ada manusia yang diistimewakan atas yang lainnya[50]

Tulisan ini dapat didownload di sini (pdf)

END NOTE :
1)Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), hal. 30
2)Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosoftdan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h.67
3)Bakar Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi, (Bandung : Penerbit Mizan 1998), h.25-26
4)Ian Richard Netton, Al-Farabi and His School, (Roudledge : London and New York, 1992), h. 4
5)Daudi Ahmad, DR, Kuyliah Filsafat Islam, (jakarta : Bulan-Bintang, 1986), h.25
6)Nasution Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan-Bintang, 1973), h.26
7)Bakar Osman, Op-Cit, h.26
8)ZAR, SIrajuddin, Op-Cit, h.65
9)Bakar Osman, Op-Cit, h.27
10)Menurut ibnu Abi Usaibi’ah berdasarkan lopran Abul Hasan al-Amidi, al-Farabi melewatkan masa remajanya di Damaskus. Namun Hasil penelitian Bakar Osman lebih meyakini Distrik Farab sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya al-Farabi. Ibid
11)ibid
12)Sjadzali, Munawir, Islam dan tata Negara, (Jakarta : Ui-press, 1993), h.49
13)Bakar Osman, Op-Cit, h.29
14)Nasution Harun, Op-Cit, h.26
15)Bakar Osman, Op-Cit, h.30
16)Zar Sirajuddin, Op-Cit, h.66
17)Bakar Osman, Op-Cit, h.34
18)Ibid, h.35
19)Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 31. Sirajuddin Zar menulis angka tahun masehi 330 H ini dengan 945 M, Zar, Sirajuddin, Lot-Cit
20)Bakar Osman, Op-Cit, h.37
21)Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt), h.127-128
22)Sudarsono, Op-Cit, h.32, Daudi Ahmad, Op-Cit, h.27
23)Ibid
24)Mustofa, HA, Lot-Cit
25)Sebuah Pengantar oleh Prof. H.Mukhtar Yahya dalam Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat islam (Jakarta : Bulan-Bintang, 1991)
26)Nasution Harun, Lot-Cit
27)Daudy Ahmad, Op-Cit, h.29
28)Esha, Muhammad In’am, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang : UIN Maliky-Press, 2010), h. 86
29)Kanisius 1996, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2000), h. 44
30)Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 92
31)Mustofa, HA, Op-Cit, h.134
32)Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970), h. 49
33)Nasution Harun, Op-cit, h. 27-28
34)Mustofa, Op-Cit, h. 162
35)Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983), hlm.17
36)Mustofa, Op-Cit, h. 143
37)Sjadzali, Munawwir, Op-Cit, h.51
38)Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
39)Sjadzali, Munawwir, Op-Cit, h. 51-52
40)Ibid
41)Supriyadi, D, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta : Bulan-Bintang, 1999), hlm. 93
42)Zar, Sirajuddin, Op-cit, h.84
43)Mustofa, Op.cit, h. 164
44)Asyrofi, Syamsudin, Beberapa Pemikiran Pendidikan, (Jakarta : Aditya Media Publishindo, 2005), h.50-52
45)Daudy, Ahmad, Op.cit, h.32-33
46)Zar, Sirajuddin, Opcit, h. 94
47)ibid, h.78
48)Mustofa, Op-Cit, h. 143
49)Ibid, h.130
50)Ibid, h. 138

https://alqolamu.blogspot.com/2014/11/pemikiran-filsafat-alfarabi.html

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Komentar Anda: